1. Mengundang Penulis ke Jantung Alam dan Budaya
Residensi Sastra Pawitra adalah sebuah inisiatif literasi dan kebudayaan yang mengundang penulis dari berbagai daerah untuk tinggal dan berkarya di lereng utara Gunung Penanggungan. Program ini tidak sekadar menyediakan ruang bagi penulis untuk menulis, tetapi juga menghadirkan pengalaman hidup yang kaya akan interaksi sosial, kearifan lokal, dan kesadaran lingkungan. Gunung Penanggungan sendiri bukan sekadar lanskap fisik, melainkan simbol sejarah dan spiritualitas Jawa yang telah menjadi sumber inspirasi para pegiat sastra, seni, dan budaya selama berabad-abad. Dengan latar alam yang masih terjaga, residensi ini menempatkan proses kreatif penulis dalam konteks keberlanjutan budaya dan ekologi.
Penulis yang mengikuti Residensi Sastra Pawitra 2024 berasal dari berbagai daerah seperti Malang, Surabaya, Sidoarjo, Sragen, Madiun dan berbagai daerah lainnya.
2. Tinggal Bersama Warga di Dusun Genting
Selama tiga hari dua malam, para penulis tinggal di rumah-rumah warga Dusun Genting, Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Mojokerto. Pengalaman ini memutus jarak antara penulis dan “lokasi cerita,” memungkinkan mereka memahami denyut kehidupan masyarakat secara langsung. Kehidupan sehari-hari warga, mulai dari aktivitas bertani, beternak, hingga interaksi sosial di balai desa, menjadi bahan mentah yang kaya untuk diolah menjadi karya sastra. Model tinggal bersama ini bukan sekadar bentuk keramahan, tetapi juga strategi untuk membangun empati dan kedekatan emosional antara tamu dan tuan rumah.
3. Menjelajahi Pesona Alam dan Warisan Sejarah
Para penulis diajak berkeliling desa, menikmati kekayaan alam dan sejarah yang ada di sekitar Dusun Genting. Di sini terdapat Gua dan Candi Jedong yang menyimpan jejak masa Kerajaan Majapahit, camping ground yang menghadap hutan utara, serta sumber mata air yang mengalir dari Air Terjun Sabrangan. Pesona ini bukan sekadar destinasi wisata, melainkan ruang naratif yang memadukan lanskap, mitos, dan aktivitas manusia. Bagi penulis, pengalaman langsung di lokasi-lokasi ini memberi dimensi visual, tekstur, dan atmosfer yang tidak bisa diperoleh hanya melalui riset buku atau internet.
4. Menulis dan Belajar dari Penulis Nasional
Selain eksplorasi lapangan, para peserta mendapatkan kesempatan belajar langsung dari Kirana Kejora, penulis yang telah dipercaya Kemenparekraf untuk memberikan pelatihan kepenulisan di berbagai daerah di Indonesia. Kirana tidak hanya membagikan teknik menulis, tetapi juga menekankan pentingnya mengolah pengalaman personal dan lingkungan sekitar menjadi karya yang autentik. Proses ini menempatkan residensi sebagai ruang pembelajaran kreatif yang menggabungkan teori, praktik, dan penghayatan.
5. Mengalami Tradisi dan Ritual Sakral
Residensi juga memberi ruang bagi peserta untuk terhubung dengan kesenian tradisional khas lereng utara, seperti bantengan, yang memadukan unsur tari, musik, dan simbolisme hewan banteng sebagai penjaga desa. Puncak kegiatan adalah ritual Unduh Tirta pada 18 Februari 2024, sebuah upacara pengambilan air suci dari mata air pegunungan yang sarat makna spiritual dan ekologis. Momen ini menghubungkan sastra dengan ritus kolektif, memberi inspirasi tentang hubungan manusia, alam, dan kosmos.
6. Kebebasan Berkarya Pasca-Residensi
Setelah menjalani seluruh rangkaian kegiatan pada 16–18 Februari 2024, para penulis bebas menghasilkan karya dalam bentuk apa pun—cerpen, puisi, esai, bahkan naskah drama—dengan mengacu pada pengalaman mereka selama residensi. Kebebasan ini mendorong lahirnya karya-karya yang beragam, mencerminkan sudut pandang unik masing-masing penulis, sekaligus memperkaya dokumentasi kultural dan ekologis lereng utara Penanggungan.
7. Sastra sebagai Jejak dan Penjaga Alam
Residensi Sastra Pawitra membuktikan bahwa karya sastra dapat menjadi alat dokumentasi, refleksi, dan advokasi bagi pelestarian lingkungan. Melalui pengalaman tinggal bersama warga, menjelajahi alam, belajar dari mentor, hingga mengikuti ritual lokal, para penulis tidak hanya menghasilkan karya, tetapi juga membawa pulang pemahaman mendalam tentang hubungan antara manusia dan lingkungannya. Lereng utara Gunung Penanggungan bukan lagi sekadar latar cerita, melainkan tokoh utama yang harus dijaga kelestariannya. Dalam konteks ini, residensi menjadi jembatan antara seni, budaya, dan konservasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar