![]() |
Air Terjun Sabrangan, Satu-satunya di Lereng Utara Gunung Penanggungan |
Selama ini, Gunung Penanggungan dikenal sebagai gunung yang gersang dan tidak memiliki mata air. Citra tersebut lekat karena jalur pendakian ke puncaknya memang minim sumber air. Masyarakat luas pun hanya mengenal dua nama: Sumber Tetek dan Jolotundo. Namun benarkah hanya itu sumber air yang dimiliki gunung ini?
Jika kita menilik lebih dalam, Gunung Penanggungan menyimpan banyak misteri sejarah dan sumber daya alam yang belum banyak terungkap. Dalam Prasasti Tulangan, sebagaimana dibahas dalam jurnal ilmiah Penganugerahan Sima Tulangan, Cunggrang, dan Pucangan di Lereng Gunung Penanggungan Abad X–XI Berdasarkan Prasasti-Prasasti Raja Balitung–Airlangga karya Gary Alvin Sadewa dari Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, disebutkan bahwa terdapat tiga sima penting yang ditetapkan di lereng Gunung Penanggungan, yaitu Sima Tulangan, Sima Cunggrang, dan Sima Pucangan. Ketiganya memiliki sejarah panjang sejak masa Mataram Kuno di Jawa Tengah dan berlanjut hingga era Airlangga di Jawa Timur pada abad X–XI.
Penetapan sima bukanlah hal sepele. Status ini merupakan bentuk anugerah raja kepada suatu wilayah yang dianggap berjasa, terutama dalam pelestarian tempat-tempat suci seperti prasada (candi), patapan (pertapaan), dan patirthan (pemandian suci). Dengan demikian, keberadaan sima sangat mungkin berkaitan dengan mata air yang menunjang kegiatan spiritual dan kehidupan sosial masyarakat pada masa lampau.
Sima dan Sumber Air Suci di Lereng Penanggungan
Sima Cunggrang diyakini berada di Dukuh Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, di lereng timur Gunung Penanggungan. Prasasti Cunggrang bertahun 851 Saka (929 M) yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Mpu Sindok menyebutkan pentingnya wilayah ini. Prasasti tersebut telah dialihaksarakan oleh J. L. A. Brandes dalam Oud-Javaansche Oorkonden, dan menunjukkan kedekatan wilayah ini dengan kegiatan religius dan pelestarian tempat suci.
Sima Pucangan diperkirakan berada di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, di lereng barat gunung. Letaknya di kaki anak Gunung Bekel memperkuat indikasi adanya aktivitas keagamaan dan spiritual yang memerlukan ketersediaan air suci, meski belum ditemukan data fisik yang eksplisit terkait patirthan di sana.
Sima Tulangan, yang berada di Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, tepat di kaki anak Gunung Gajah Mungkur di lereng utara Penanggungan, menjadi perhatian khusus. Prasasti Jedong I (tahun 832 Saka/910 M) serta sejumlah prasasti lainnya (Jedong II-XII) hingga abad ke-15, menegaskan status wilayah ini sebagai kawasan penting dalam pelestarian situs suci. Salah satu fungsi utama kawasan sima adalah melindungi patirthan sebagai bagian dari sarana ibadah dan kegiatan spiritual. Maka besar kemungkinan di sekitar sima Tulangan terdapat sumber mata air.
Goa dan Mata Air: Bukti Fisik di Lereng Utara
Di sebelah timur sekitar 30 meter dari Candi Jedong, ada sebuah goa yang mengalirkan air jernih secara konstan. Air dari goa ini masih digunakan oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak jauh dari situ, sekitar 50 meter ke selatan, terdapat sumber air lain yang dikenal warga sebagai kalen. Kedua sumber air ini memperkuat dugaan bahwa kawasan ini sejak dulu memiliki peran penting dalam menunjang kehidupan dan praktik keagamaan masyarakat.
Di Dusun Genting, juga terdapat air terjun yang dikenal sebagai Air Terjun Sabrangan. Uniknya, akses ke air terjun ini tidak dibuka untuk umum, kecuali untuk keperluan tertentu. Air dari Sabrangan ditampung dan dialirkan ke berbagai desa tetangga seperti Desa Kunjorowesi dan Manduro Mangkugajah. Artinya, keberadaan air terjun ini bukan hanya penting dari sisi ekologis, tetapi juga vital secara sosial-ekonomi.
Selain itu, terdapat Sumber Air Doplang yang memunculkan air berwarna putih. Sayangnya, karena sifat fisik airnya yang tidak biasa, warga tidak memanfaatkannya. Di Dusun Bursik, Desa Manduro Mangkugajah, dulunya juga terdapat sumber air alami, namun kini telah mengering—mungkin akibat perubahan iklim atau degradasi lingkungan.
Menghidupkan Kembali Kearifan Leluhur
Rangkaian sumber air di lereng utara Gunung Penanggungan membantah anggapan lama bahwa kawasan ini sepenuhnya kering. Fakta sejarah dan temuan lapangan menunjukkan bahwa air adalah bagian tak terpisahkan dari lanskap spiritual dan budaya Gunung Penanggungan.
Kini, tanggung jawab menjaga kelestarian mata air ini tidak lagi diemban oleh sima seperti di masa lalu, tetapi oleh kesadaran kolektif kita sebagai masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh warga Dusun Genting yang aktif menanam bambu—tanaman yang efektif menjaga resapan air—serta menggandeng berbagai komunitas untuk menjaga keseimbangan ekologis kawasan. Genting juga mengakfitkan kembali ritual Unduh Tirta yang sebelumnya hanya dirayakan dalam bentuk 'ruwatan' dan 'kenduren' dalam skala warga itu-itu saja.
Gunung Penanggungan bukan hanya saksi bisu kejayaan kerajaan-kerajaan masa lampau, tetapi juga penjaga mata air yang menopang kehidupan hingga hari ini. Sudah saatnya kita memaknai kembali nilai sima—bukan sebagai status administratif, tetapi sebagai simbol tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan alam dan budaya.
Karena seperti air yang mengalir dari goa dan celah tersembunyi, warisan leluhur akan terus hidup selama kita bersedia menjaganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar